Technopark Indonesia

Technopark Indonesia
Wisata Edukasi dan Sains

Sunday, December 21, 2014

Menggagas Berdirinya Technopark

Sehabis kuliah beberapa hari yang lalu, penulis sempat berdiskusi kecil dengan seorang rekan terkait dengan berdirinya beragam gedung yang memenuhi tiap sudut Kota Surabaya ini. Ia menyatakan, meskipun kota buaya ini telah berdiri berbagai gedung perkantoran yang megah, rumah sakit, ratusan tempat pendidikan, taman rekreasi hingga pusat perbelanjaan yang menjamur namun ada satu hal yang kurang yakni belum adanya “technopark”.
Entahlah, mungkin karena nama “technopark” itu sendiri yang kurang familiar, sehingga keberadaanya belum terlalu diperlukan. Oleh karena itu, lewat tulisan singkat ini penulis ingin memaparkan apa, bagaimana dan manfaat apa saja yang bisa diambil atas kehadiran sebuah “technopark”. Mudah-mudahan, pasca ini ada itikad baik dari pihak-pihak yang berkompenten untuk turut serta memikirkan model “technopark” yang cocok di kota ini.

Taman Teknologi
Secara bahasa “technopark” dapat diartikan sebagai taman teknologi. Pengertianya disini adalah suatu tempat/kawasan dimana teknologi diaplikasikan. Menurut Budi Rahardjo (2002) ”technopark” diartikan sebagai area perguruan tinggi yang dapat dipergunakan oleh masyarakat industri. Di luar negeri, area seperti bisa juga disebut sebagai “science park”, “science city”, “technopark”, “business park”, “technology corridor”, “technology zone”, dan masih banyak nama lain. Tetapi, intinya tetap mengacu pada arti ”technopark” seperti disebutkan diatas.
Lebih lanjut Budi Rahardjo mengemukakan bahwa tujuan utama pendirian ”technopark” adalah untuk membuat link yang permanen antara peguruan tinggi (akademisi), pelaku industri / bisnis / finansial, dan pemerintah. Technopark mencoba menggabungkan ide, inovasi, dan know-how dari dunia akademik dan kemampuan finansial (dan marketing) dari dunia bisnis. Diharapkan penggabungan ini dapat meningkatkan dan mempercepat pengembangan produk serta mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan inovasi ke produk yang dapat dipasarkan, dengan harapan untuk memperoleh economic return yang tinggi. Adanya technopark membuat link yang permanen antara perguruan tinggi dan industri, sehingga terjadi clustering dan critical mass dari peneliti dan perusahaan. Hal ini membuat perusahaan menjadi lebih kuat.

Mutualisme
Pada intinya, keberadaan ”technopark” ingin mengokokohkan kembali hubungan antara industri dengan dunia pendidikan tinggi. Memang, selama ini relasi itu sudah terbangun melalui berbagai program seperti co-op (Co-operative education), PKL (Praktek kerja lapangan), Kulap (kunjungan lapangan) hingga penelitian bersama. Tetapi bentuk kerja sama tersebut belum sepenuhnya berjalan maksimal. Civitas perguruan tinggi lebih banyak ”meminta” ketimbang ”memberi”. Akibatnya, sebagaian pihak industri merasa enggan untuk melakukan kegiatan ”link and match” lebih lanjut.
Tidak demikian dengan kehadiran ”technopark”. Perguruan tinggi (diwakili dosen, peneliti dan mahasiswa) senang dengan adanya technopark di kampus karena mereka dapat langsung berhadapan dengan masalah nyata yang dihadapi oleh industri. Mahasiswa dapat menggunakan pengalamannya ini sebagai referensi ketika dia mencari pekerjaan lain, jika dia tidak tertarik untuk menjadi bagian dari perusahaan yang bersangkutan. Sementara bagi industri adalah adanya akses ke sumber daya manusia (SDM) di kampus. Industri dapat mengakses ide, inovasi, dan teknologi yang dikembangkan oleh para peneliti di kampus.

”Technopark” yang dibangun harus memiliki fasilitas seperti inkubator bisnis, angel capital, seed capital dan venture capital. Stakeholeder yang berperan adalah pemerintah (dalam hal ini bisa pemkot surabaya), peneliti (akademis kampus), komunitas bisnis (industri). Mereka bekerjasama untuk mengintegrasikan penggunaan dan pemanfaatan ”technopark” sebagai bangunan komersial, fasilitas riset, conference center dan bahkan sampai ke hotel. Bagi pemerintah daerah, keberadaan ”technopark” bisa menjadi pencipta lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan asli daerah.
Letak pembanguan fisik ”technopark” sangat bergantung dengan kesepakatan antara pihak perguruan tinggi dengan industri. Untuk kampus-kampus yang masih memiliki lahan luas mungkin tidak akan menjadi soal. Tetapi bagi perguruan tinggi yang wilayahnya sedikit hal ini bisa diakali dengan membangun ”technopark” diluar kampusnya. Tetapi yang prinsip adalah baik kalangan akademik maupun industri bisa dengan mudah dan leluasa untuk melakukan akses disana.

Sebuah ”technopark”yang ideal setidaknya menyediakan tiga akses utama. Pertama, akses kepada pakar yang ada dikampus. Banyak dari industri (terutama menengah) tidak memiliki tenaga ahli dalam bidangnya. Akibatnya inovasi produknya tidak bisa berjalan secara maksimal. Nah, dengan akses kepada pakar maka industri bisa menawarkan kerjasama penelitian industri. Pihak peneliti mendapatkan objek penelitian yang pas, sedangkan industri mendukungnya dengan pendanaan.
Kedua akses kepada fasilitas kampus, seperti perpustakaan, peralatan dan perlengkapan laboratorium, internet center dan fasilitas fisik lainya. Umumnya perguruan tinggi memiliki berbagai peralatan yang canggih, yang mustahil dimiiliki oleh pelaku industri menengah kebawah.
Ketiga bussines center, dimana interface antara perguruan tinggi dengan industri terjadi. Katakanlah begini, jika ada industri memiliki masalah maka ia bisa datang ke bussines center ini untuk berkonsultasi apakah ada sumber daya manusia atau fasilitas yang dapat membantu. Bussines center, jika dikelola dengan baik bisa mendatangkan keuntungan eknomis yang cukup besar.

Prospek Ke Depan
Dengan melihat paparan diatas, sudah seharusnya berdiri model ”technopark” yang pas di kota ini. Bandung misalnya, sudah mulai menggeliat dengan BHTV (Bandung High Tech Valley) dengan ITB (Institut Teknologi Bandung) sebagai motor penggeraknya. Di luar negeri pun, keberadaan ”technopark” telah menjadi salah satu indikator kemajuan.(*)

Dimuat di Jawa Pos, 23 Nopember 2005
Penulis : Nurhadi, Mahasiswa Teknik Fisika ITS

No comments:

Post a Comment