Sehabis kuliah beberapa hari yang lalu, penulis sempat berdiskusi
kecil dengan seorang rekan terkait dengan berdirinya beragam gedung yang
memenuhi tiap sudut Kota Surabaya ini. Ia menyatakan, meskipun kota
buaya ini telah berdiri berbagai gedung perkantoran yang megah, rumah
sakit, ratusan tempat pendidikan, taman rekreasi hingga pusat
perbelanjaan yang menjamur namun ada satu hal yang kurang yakni belum
adanya “technopark”.
Entahlah, mungkin karena nama “technopark” itu sendiri yang kurang
familiar, sehingga keberadaanya belum terlalu diperlukan. Oleh karena
itu, lewat tulisan singkat ini penulis ingin memaparkan apa, bagaimana
dan manfaat apa saja yang bisa diambil atas kehadiran sebuah
“technopark”. Mudah-mudahan, pasca ini ada itikad baik dari pihak-pihak
yang berkompenten untuk turut serta memikirkan model “technopark” yang
cocok di kota ini.
Taman Teknologi
Secara bahasa “technopark” dapat diartikan sebagai taman teknologi. Pengertianya disini adalah suatu tempat/kawasan dimana teknologi diaplikasikan. Menurut Budi Rahardjo (2002) ”technopark” diartikan sebagai area perguruan tinggi yang dapat dipergunakan oleh masyarakat industri. Di luar negeri, area seperti bisa juga disebut sebagai “science park”, “science city”, “technopark”, “business park”, “technology corridor”, “technology zone”, dan masih banyak nama lain. Tetapi, intinya tetap mengacu pada arti ”technopark” seperti disebutkan diatas.
Secara bahasa “technopark” dapat diartikan sebagai taman teknologi. Pengertianya disini adalah suatu tempat/kawasan dimana teknologi diaplikasikan. Menurut Budi Rahardjo (2002) ”technopark” diartikan sebagai area perguruan tinggi yang dapat dipergunakan oleh masyarakat industri. Di luar negeri, area seperti bisa juga disebut sebagai “science park”, “science city”, “technopark”, “business park”, “technology corridor”, “technology zone”, dan masih banyak nama lain. Tetapi, intinya tetap mengacu pada arti ”technopark” seperti disebutkan diatas.
Lebih lanjut Budi Rahardjo mengemukakan bahwa tujuan utama pendirian
”technopark” adalah untuk membuat link yang permanen antara peguruan
tinggi (akademisi), pelaku industri / bisnis / finansial, dan
pemerintah. Technopark mencoba menggabungkan ide, inovasi, dan know-how
dari dunia akademik dan kemampuan finansial (dan marketing) dari dunia
bisnis. Diharapkan penggabungan ini dapat meningkatkan dan mempercepat
pengembangan produk serta mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk
memindahkan inovasi ke produk yang dapat dipasarkan, dengan harapan
untuk memperoleh economic return yang tinggi. Adanya technopark membuat
link yang permanen antara perguruan tinggi dan industri, sehingga
terjadi clustering dan critical mass dari peneliti dan perusahaan. Hal
ini membuat perusahaan menjadi lebih kuat.
Mutualisme
Pada intinya, keberadaan ”technopark” ingin mengokokohkan kembali hubungan antara industri dengan dunia pendidikan tinggi. Memang, selama ini relasi itu sudah terbangun melalui berbagai program seperti co-op (Co-operative education), PKL (Praktek kerja lapangan), Kulap (kunjungan lapangan) hingga penelitian bersama. Tetapi bentuk kerja sama tersebut belum sepenuhnya berjalan maksimal. Civitas perguruan tinggi lebih banyak ”meminta” ketimbang ”memberi”. Akibatnya, sebagaian pihak industri merasa enggan untuk melakukan kegiatan ”link and match” lebih lanjut.
Pada intinya, keberadaan ”technopark” ingin mengokokohkan kembali hubungan antara industri dengan dunia pendidikan tinggi. Memang, selama ini relasi itu sudah terbangun melalui berbagai program seperti co-op (Co-operative education), PKL (Praktek kerja lapangan), Kulap (kunjungan lapangan) hingga penelitian bersama. Tetapi bentuk kerja sama tersebut belum sepenuhnya berjalan maksimal. Civitas perguruan tinggi lebih banyak ”meminta” ketimbang ”memberi”. Akibatnya, sebagaian pihak industri merasa enggan untuk melakukan kegiatan ”link and match” lebih lanjut.
Tidak demikian dengan kehadiran ”technopark”. Perguruan tinggi
(diwakili dosen, peneliti dan mahasiswa) senang dengan adanya technopark
di kampus karena mereka dapat langsung berhadapan dengan masalah nyata
yang dihadapi oleh industri. Mahasiswa dapat menggunakan pengalamannya
ini sebagai referensi ketika dia mencari pekerjaan lain, jika dia tidak
tertarik untuk menjadi bagian dari perusahaan yang bersangkutan.
Sementara bagi industri adalah adanya akses ke sumber daya manusia (SDM)
di kampus. Industri dapat mengakses ide, inovasi, dan teknologi yang
dikembangkan oleh para peneliti di kampus.
”Technopark” yang dibangun harus memiliki fasilitas seperti inkubator
bisnis, angel capital, seed capital dan venture capital. Stakeholeder
yang berperan adalah pemerintah (dalam hal ini bisa pemkot surabaya),
peneliti (akademis kampus), komunitas bisnis (industri). Mereka
bekerjasama untuk mengintegrasikan penggunaan dan pemanfaatan
”technopark” sebagai bangunan komersial, fasilitas riset, conference
center dan bahkan sampai ke hotel. Bagi pemerintah daerah, keberadaan
”technopark” bisa menjadi pencipta lapangan kerja dan meningkatkan
pendapatan asli daerah.
Letak pembanguan fisik ”technopark” sangat bergantung dengan
kesepakatan antara pihak perguruan tinggi dengan industri. Untuk
kampus-kampus yang masih memiliki lahan luas mungkin tidak akan menjadi
soal. Tetapi bagi perguruan tinggi yang wilayahnya sedikit hal ini bisa
diakali dengan membangun ”technopark” diluar kampusnya. Tetapi yang
prinsip adalah baik kalangan akademik maupun industri bisa dengan mudah
dan leluasa untuk melakukan akses disana.
Sebuah ”technopark”yang ideal setidaknya menyediakan tiga akses
utama. Pertama, akses kepada pakar yang ada dikampus. Banyak dari
industri (terutama menengah) tidak memiliki tenaga ahli dalam bidangnya.
Akibatnya inovasi produknya tidak bisa berjalan secara maksimal. Nah,
dengan akses kepada pakar maka industri bisa menawarkan kerjasama
penelitian industri. Pihak peneliti mendapatkan objek penelitian yang
pas, sedangkan industri mendukungnya dengan pendanaan.
Kedua akses kepada fasilitas kampus, seperti perpustakaan, peralatan
dan perlengkapan laboratorium, internet center dan fasilitas fisik
lainya. Umumnya perguruan tinggi memiliki berbagai peralatan yang
canggih, yang mustahil dimiiliki oleh pelaku industri menengah kebawah.
Ketiga bussines center, dimana interface antara perguruan tinggi
dengan industri terjadi. Katakanlah begini, jika ada industri memiliki
masalah maka ia bisa datang ke bussines center ini untuk berkonsultasi
apakah ada sumber daya manusia atau fasilitas yang dapat membantu.
Bussines center, jika dikelola dengan baik bisa mendatangkan keuntungan
eknomis yang cukup besar.
Prospek Ke Depan
Dengan melihat paparan diatas, sudah seharusnya berdiri model ”technopark” yang pas di kota ini. Bandung misalnya, sudah mulai menggeliat dengan BHTV (Bandung High Tech Valley) dengan ITB (Institut Teknologi Bandung) sebagai motor penggeraknya. Di luar negeri pun, keberadaan ”technopark” telah menjadi salah satu indikator kemajuan.(*)
Dengan melihat paparan diatas, sudah seharusnya berdiri model ”technopark” yang pas di kota ini. Bandung misalnya, sudah mulai menggeliat dengan BHTV (Bandung High Tech Valley) dengan ITB (Institut Teknologi Bandung) sebagai motor penggeraknya. Di luar negeri pun, keberadaan ”technopark” telah menjadi salah satu indikator kemajuan.(*)
Dimuat di Jawa Pos, 23 Nopember 2005
Penulis : Nurhadi, Mahasiswa Teknik Fisika ITS
No comments:
Post a Comment